Oleh: Martinius Yohanes Gardena – Fase F DKV 5
Instagram penulis: @immartin._
“Jengg! Jeng Lara!! Ini Ayahmu pingin ngomong” panggil Mbak Ajeng sembari membuka
pintu kamar Lara.
Seperti biasa, tiap hari dan di jam yang sama Lara menikmati waktu bersama
ayahnya lewat sambungan kabel telepon. “Daddy” itulah panggilan dekatnya sejak kecil dengan
ayahnya. Sekalipun berjauhan, namun hubungan mereka layaknya orang yang dekat. “Daddy
sayang Lara” “Lara sayang Daddy”, itulah kata-kata akhir yang mereka biasa ucapkan saat
mengakhiri panggilan mereka.
Lara, gadis kecil mungil yang sangat disayangi kedua orang tuanya. Tubuhnya yang kecil
dan parasnya yang elok menjadikannya gadis kesukaan semua orang. Sikapnya yang sedikit lugu
dan manis membuat setiap orang yang mendekatinya menjadi sayang dengannya. Lara hidup
bersama seorang saudagar Kaya di Perkebunan Teh. Setiap hari hidupnya tak lepas dari
kemewahan dan kelimpahan. Tapi itu tak menjadikannya arogan, akan tetapi sebaliknya ia malah
rendah hati. Hingga suatu ketika, ayahnya memanggilnya, namun kali ini ada sesuatu yang
berbeda.
“Lara, Daddy minta maaf, mulai saat ini kita jarang telponan, kamu baik-baik dengan bunda
disana, nanti ayah akan sering-sering transfer ya untuk apapun yang kamu mau”
Lara penuh lara. Kesedihan merangkulnya. Karena ia tahu, yang paling dekat dengannya
di rumah itu selain Mbok Ajeng adalah ayahnya. Mulai saat itu hari-harinya dipenuhi dengan
penuh kekhawatiran yang berat.
“Mbok, Daddy sehat ya?”
“Sehat nak pasti itu..” ucap Mbak Ajeng membujuk.
Ia hanya khawatir dengan keadaan ayahnya saat ini. Hingga suatu ketika, Ayahnya
mengirimi uang untuk kebutuhannya. Lara sebenarnya tidak mau apapun, tapi Mbak ‘pun memaksa
agar Lara menerimanya. Tapi, bundanya yang hadir pada saat itu merasa sedikit geram dengan
sifat Lara. Ia menganggap bahwa anak itu tidak menghargai ayahnya.
“Apa kurang banyak sampai kamu tidak mau terima? Memangnya berapa dikasi Daddy?” ucap
Bunda yang penuh tanda tanya
“Tidak bunda, Lara cuma ingin Daddy”
Bunda hanya bisa menghela nafas dan menyuruh Mbak Ajeng menenangkan Lara.
“Bunda pegang aja dulu, kalau ada apa-apa minta ke Bunda” katanya sambil meninggalkan
mereka.
Akan tetapi, bunda yang awalnya sedikit geram, kini amarahnya memuncak. Setelah di
cek, ternyata Daddy memberikan harta lebih banyak ke putrinya daripada ke kekasihnya sendiri.
Akan tetapi, bunda masih bisa menenangkan dirinya.
Bulan berikutnya, Daddy melakukan hal yang sama. Seterusnya ayah melakukan hal itu.
Hingga suatu ketika, Daddy mendapatkan waktu yang sekejap untuk berhubungan dengan
keluarga. Di kala itu, istrinya lah yang mengangkat telponnya. Bahagia dan tangis membasahi
wanita itu. Yang saking rindunya akan kehadiran sosok suaminya lagi. Seiring mereka bercakapcakap, raut wajah Bunda berubah. Yang tadinya terisi dengan Bahagia dan Haru kini suasana
seakan keruh saat Daddy menanyakan tentang Lara. Lara ‘pun mendengar Bundanya yang
bercakap-cakap dengan ayahnya. Betapa rindunya Lara ingin berbicara, tapi tiba-tiba ibu memutus
panggilan dengan berkata “Selamat Bekerja Ayah”. Lara membalik badannya dan masuk ke
kamarnya. Wajahnya penuh rintik air mata.
“Apa Daddy lupa sama aku?”
Mbok Ajeng yang ada di kamarnya ‘pun berusaha menenangkannya.
Seiring berjalannya waktu, Perbuatan bunda makin tak senonoh dengan anaknya.
Perlakuannya yang sungguh beda dari sebelum-sebelumnya. Ia mulai kasar dengan anaknya,
terkadang mencubit, memarahi dan memaki anaknya.
“Kamu ini kenapa sih, stres?” tanya Mbak Ajeng yang penasaran.
“Aku ini pusing lo Mbak, Aku tidak tahu mau bagaimana lagi” ujarnya sambil menangis
“Yo cerita toh, ra’ perlu nangis (tidak perlu menangis)”
“Pernikahan kita awalnya bahagia, Cintanya mas Rodhrick itu cuma buat aku. Tapi, semenjak
kehadiran anak pungut itu ada semua jadi…”
“APAAA?!!! Jeng aku ga salah dengerr??” potong Mbak Ajeng.
Darisitu Bunda sebenarnya mulai tidak suka dengan kehadiran sosok “Lara” yang baginya
pembawa duka. Bunda merasa semua harta, takhta dan cinta Kekasihnya diberikan kepada anak
yang bukan anak kandungnya.
Suatu hari, dimana Mbak Ajeng melihat Kondisi tubuh Lara yang kian hari kian kurus,
wajahnya tidak bersih seperti dulu entah apa yang merasuki diri Lara hingga ia bisa jadi seperti
itu. Mbak Ajeng hanya berpikir “Mungkin dia kangen Ayahnya”. Dia merenung di kamarnya
sambil memandangi cahaya rembulan yang indah. Dan tiba-tiba Mbak Ajeng memeluknya dari
belakang.
“Kamu kenapa toh jeng?”
“Tidak apa-apa Mbak.. Lihat bulannya cantik” kata Lara dengan senyumnya yang manis.
Kemudian, ia menyanyikan sebuah tembang anak-anak dengan lembut. Di malam yang
sunyi, sepi dan penuh ketenangan itu, ia bersenandung.
“Ambilkan bulan bu..”
“Ambilkan bulan bu..”
“Yang s’lalu bersinar di langit..”
Suara kecilnya yang merdu syahdu, halus dan diiringi angin sepoi-sepoi itu menambah
keheningan di malam itu. Mbak Ajeng yang mendengarkan itu merasa gemetar dan penuh haru.
Tak tersadar tetes demi tetes air matanya membasahi pipinya. Ia merasa iba dengan anak seperti
itu. Berulang kali dinyanyikan, akhirnya ia pun pulas terlelap.
Keesokan harinya, dimana bulan Purnama tiba. Itu hari-hari yang ia nantikan sepanjang
hidupnya. Dikala senja tiba, saat ia hendak membersihkan badannya, tiba-tiba saja Bunda datang.
Keanehan ‘pun mulai terasa pada diri Lara.
“Yuk biar bunda yang mandikan kamu sayang” bujuk bunda halus.
Awalnya Lara menolak dan penuh dengan kecurigaan. Dan tiba-tiba saja dia melupakan
semuanya itu dan berpikir bahwa Bundanya telah insyaf dengan perbuatannya.
Dielus-elus rambutnya, dinyanyikan Lagu Sayang. Seperti itulah perlakuan Bunda saat itu
kepada Lara. Namun seketika suasana terdiam dan Bunda memegang wajah Lara perlahan.
“Laraa manis, sayang bunda kan..” ucapnya pelan, sampai ia pegang paha Lara dan membuatnya
sampai membiru.
Lara yang tak berdosa itu hanya bisa terdiam dan menangis dalam hatinya. Ia tahan
kesedihannya.
Tiba-tiba dipegangnya kepala Lara dan.. “Dugggggggg”.
Mbak Ajeng yang mendengar dentuman di tembok itu pun langsung mencarinya.
“Yaampun ada apa itu jeng?”
Bunda yang menyembunyikan hal itu pun berkata “T-ttidak, h-hanya, benda jatuh saja kok,
ini tadi dekat bak mandi”.
Anehnya Mbak Ajeng cuma terdiam dan memercayai hal itu dan segera meninggalkan
mereka berdua.
“Jangan bilang sama siapapun!!! Jangan pernah!!! Kalau iya, siap-siap kamu” Ancam
Bunda kepada Lara. Lara yang tak tahu apa ‘pun hanya terdiam dan merenung. Ia berusaha
mengusir kesedihannya, tapi rasa sakit di kepala masih dirasakannya.
Di malam hari, Mbak Ajeng menghampiri Lara dengan membawa Cokelat Panas dan
Cookies kesukaan Lara.
“Jeng, ini jeng nanti jam 8 kita lihat bulan bareng-bareng yuk”.
Lara hanya membalas dengan senyuman. Dan sambil menemani Lara, Lara ‘pun mulai
membuka obrolan.
“Mbak, Bunda sayang ya sama aku?”
“Kenapa tanya begitu? Pastinya sayang kok” kata Mbak Ajeng membujuk.
“Oh tidak apa-apa Mbak.. Hehe.. Mbak Ajeng sayang aku ‘kan?”
“Pastinya sayang donk..” ucap Mbak Ajeng
Tak terasa senja mau berganti. Dan bulan kini sudah nampak. Lara kembali bersenandung.
Suaranya pelan nan merdu, menenangkan suasana malamnya bersama Mbak Ajeng.
“Ambilkan bulan bu..”
“Ambilkan bulan bu..”
“Yang s’lalu bersinar di langit”
“Di lang..”
Lara tak melanjutkan tembangnya itu. Dan Mbak Ajeng yang melihat keadaan wajahnya
langsung terkaget. Tetes darah keluar dari hidungnya. Dan Mbak Ajeng pun bertanya-tanya.
“Jeng, kamu kenapa tohhh. Ayo obatin”
Lara hanya tersenyum manis.
“Hehe, tidak apa-apa nanti juga hilang sendiri.”
“Jenggg ayo jengg, Mbak khawatir”
“Hahaha tidak Mbak, nanti hilang sendiri kok.” ucapnya dengan sedikit ketawa manis.
Mbak Ajeng yang khawatir itu ‘pun hanya bisa menangis. Dia takut terjadi apa-apa pada
dirinya.
Tak lama kemudian, mereka ‘pun hendak menutup jendela kamar, karena pada saat itu
mereka tidak bisa melihat bulan purnama karena cuaca yang buruk dan memutuskan untuk
beristirahat.
Tiba-tiba…
“Mbak Ajeng.. aku lihat aku di bulan.” ucap Lara yang tersenyum manis di kasurnya.
“Tidur jengg, ini sudah mal..”
“Tidak Mbak, lihat itu ada aku. Tenangnya aku kalau seperti itu.” potong Lara sambil tersenyum
menghadap atas.
“Jengg kamu kenapa jengggg” tanya Mbak Ajeng sambil menangis.
“Itu mbak lihat ada aku duduk di bulan Mbak, Pakai baju putih, tenang sekali Mbak, Itu aku Mbak,
lihat rambutnya Mbak”
Mbak Ajeng berusaha untuk menenangkan Lara di malam itu. Malam ‘pun makin larut,
akhirnya Lara ‘pun bisa tertidur dengan tenang dan ditinggal Mbak Ajeng.
Tetapi, ia terbangun tengah malam. Ia tiba-tiba melihat cahaya rembulan cantik nan mulia.
Ia belum pernah melihat sebelumnya. Apa yang ada di benaknya hingga ia bertekat untuk
mengikuti kemana bulan itu pergi. Ia keluar rumah tanpa sepengetahuan siapapun. Kala itu rumah
sangat sunyi dan terlelap. Ia mengejar sang rembulan itu. Berlari tanpa tujuan yang jelas dan arah
yang pasti. Jalan terjal ‘pun diiringnya. Tak satu ‘pun menghalangi tekatnya hanya untuk sebuah
cahaya bulan. Kabut yang menutupinya pun tak menjadi penghalang, walau ia harus berlari dengan
tubuh yang penuh derita di tengah pohon-pohon besar yang gelap. Cahaya itu seakan memberinya
suatu petunjuk untuk terus mengejarnya. Ia merasa bahwa seperti ada sebuah tarikan dari cahaya
itu untuk terus berlari padanya. Hingga sampailah ia pada suatu bukit. Sambil menganga terkagum,
disitu ia melihat tangga awan awan yang terletak tepat di depannya. Tangga itu menuju bulan. Dan
entah mengapa ia rasakan dalam hatinya seperti ada rasa ingin menaiki tangga tersebut untuk ke
Bulan. Tak pikir panjang, ia menaikinya. Ia merasakan ketenangan yang berarti jika memandang
bulan tersebut. Rasanya ia ingin menetap disana selamanya, tanpa ada yang menyakitinya atau
yang membuat nya sedih. Namun, di anak tangga pertama ia menemukan selembar kertas.
“Mungkin inilah waktunya..” pikirnya.
Ia menulis sepucuk surat tanda terimakasih pada orang-orang dirumahnya karena telah
merawatnya. Suatu saat, surat itu akan dikirimkan langsung ke rumahnya. Tapi, ia bingung karena
tinta ‘pun tak ada. Kemudian dari kepalanya mengalir cairan kemerahan, tanpa pikir panjang ia
pun memakai itu sebagai tinta dan kemudian meninggalkan surat itu dibawah. Ia naik ke atas dan
apa yang ia rasakan adalah ketenangan, keheningan saat ia ada di bulan. Ia rasakan damai dan tidak
ada yang mengganggunya.
Tetapi…
“JENG LARAAAA”
Mbak Ajeng berteriak terbangun dari lelapnya. Ia bermimpi yang sama tentang itu. Dan ia
mendapati Lara sudah tiada di kamarnya. Bunda yang terganggu dengan kehebohan Mbak Ajeng
‘pun khawatir dan mengikuti Mbak Ajeng. Mereka segera berlari ke tempat dimana Mbak Ajeng
menemukan Lara di dalam mimpinya.
Dan betul saja..
“JENGGG LARAAA!!!!!! Bangun Jenggg!! Jeng, Bangun Jengg!!”
Isak tangis dari Mbak Ajeng melihat kepergian Lara. Tubuhnya Kaku dan darah mengalir
dari kepala belakangnya. Wajahnya pucat pasi. Dan matanya tertutup. Mbak Ajeng hanya terdiam
gemetar melihat kepergian anak asuhnya. Tangis ‘pun tak terhenti dari matanya.
Bunda terdiam, tubuhnya kaku dan kaget melihat hal itu. Lalu ia tersungkur dan hanya bisa
menangis serta menyesali perbuatannya itu. Hanya kata “maaf” yang terucap dalam mulut Bunda.
Tiba-tiba sepucuk surat di tangan Lara ‘pun diambilnya.
Dari Lara
Untuk : Semuanya
“Teruntuk semua,
terimakasih atas cinta kalian
Sekarang kalian tenang,
Dan bunda, terimakasih, sekarang bunda tenang..
Untuk Mbak Ajeng, aku berterimakasih, aku disini tenang dan aku selalu ingat kebaikan Mbak
Ajeng..
Sampaikan ke ayah, terimakasih juga cintanya..
sekarang cuma surat ini yang jadi tanda perpisahan kita.
salam..
Lara”
Tangis ‘pun terus menyayat hati mereka terutama Bunda. Melihat sepucuk surat dengan
bertuliskan darahnya Lara itu membuat hatinya sedih dan menyesali perbuatan itu.
Kemudian, Cahaya Bulan ‘pun tiba-tiba terang benderang dan menghampiri mereka.
Disitu didapatinya wajah Lara yang membelakangi mereka, tepat seperti yang Lara
ceritakan kepada Mbak Ajeng. Lalu Lara membalik dan memberikan senyum kecil kepada mereka.
Dan kian detik memudar.
Dari peristiwa itulah Bunda mulai was-was. Dan peristiwa itu terus terjadi di rumah
mereka. Saat bulan purnama tiba, tiap tetes demi tetes darah tercurah dari foto Lara di ruang tamu.
Dan lagu keroncong “Di Wajahmu Kulihat Bulan” sering terdengar di piringan hitam secara tibatiba. Bunda tahu, bahwa kehadiran Lara masih ada saat itu.
“Di wajahmu kulihat bulan
Yang mengintai di sudut kerlingan
Sadarkah tuan kau di tatap insan
Yang hauskan belaian
Di wajahmu kulihat bulan
Menerangi hati gelap rawan
Biarlah daku mencari naungan
Di wajah damai rupawan
Serasa tiada jauh dan mudah dicapai tangan
Ingin hati menjangkau kiranya tinggi di awan
Di wajahmu kulihat bulan
Bersembunyi di balik senyuman
Jangan biarkan ku tiada berkawan
Hamba menanti kan tuan”
……………………………………………………………………………………………… ##………………………………………………………………………………………………………………
Beri Komentar